Ticker

8/recent/ticker-posts

Ads

Maya Agustini: Antara Cinta, Luka, dan Keteguhan Hati



Di mata banyak orang, Maya Agustini adalah sosok perempuan penuh karya dan dedikasi. Namanya dikenal sebagai aktivis sosial, pencipta ribuan lagu anak, dan penggagas acara Anugerah Anak Indonesia yang pernah digelar megah di Gelora Bung Karno. Hidupnya seakan ditakdirkan untuk memberi cahaya bagi generasi penerus bangsa.

Namun di balik pencapaian itu, Maya menjalani babak kehidupan yang penuh luka. Selama 25 tahun, ia mendampingi Wisnu Wijayanta—delapan tahun di antaranya dijalani dalam masa pacaran, sisanya dalam ikatan pernikahan. Maya percaya pada janji cinta, pada ikrar rumah tangga yang seharusnya saling menguatkan. Tetapi, kenyataan yang ia hadapi jauh berbeda.

Sejak Wisnu menduduki jabatan penting di sebuah perusahaan besar dan dekat dengan lingkaran elite BUMN, jarak emosional kian terasa. Maya mendapati perubahan sikap suaminya—dingin, menjauh, hingga akhirnya terungkap dugaan perselingkuhan. Lebih menyakitkan lagi, proses perceraian yang seharusnya diselesaikan dengan kepala tegak, justru ia rasakan sebagai rekayasa penuh manipulasi: nafkah dipotong tanpa persetujuan, dokumen medis digunakan untuk melabelinya berbahaya, dan pembacaan talak pun diwakilkan kepada kuasa hukum.

Semua itu terjadi ketika tubuh Maya sedang berjuang melawan sakit yang menggerogoti. Gagal ginjal, pendarahan otak, sepsis, koma, hingga hidup dengan kantong kolostomi—deretan vonis medis yang mungkin membuat banyak orang memilih menyerah. Namun Maya tidak. Dalam kondisi fisik yang rapuh, ia tetap memperjuangkan martabatnya sebagai seorang istri sekaligus perempuan.

Keluarga besar Haji Abdul Rochim berdiri di sisinya, menuntut agar pihak Wisnu bertanggung jawab. Maya pun melangkah ke jalur hukum, melaporkan kasus penelantaran dan KDRT psikis. Ia tahu jalannya tidak mudah, tetapi baginya, diam berarti menyerah.

“Janji pernikahan bukan sekadar formalitas,” ucap Maya dengan suara bergetar. “Itu ikrar yang harus dihormati, meski cinta telah berubah.”


Kini, kisah Maya tidak lagi sekadar tentang rumah tangga yang runtuh. Ia adalah potret keteguhan hati seorang perempuan yang dikhianati di saat terlemah, namun memilih berdiri tegak. Ia menolak diperlakukan seperti “sampah” hanya karena tidak lagi diinginkan.

Maya berharap masih ada ruang bagi penyelesaian yang ksatria—bukan permusuhan, melainkan penghormatan terakhir pada ikrar yang pernah diucap. Sebab bagi Maya, keberanian sejati bukanlah melarikan diri dari tanggung jawab, melainkan menghadapi kenyataan dengan hati yang terbuka.

Kisahnya menjadi pengingat bahwa di balik badai kehidupan, selalu ada cahaya kecil yang menjaga langkah: kekuatan, harga diri, dan harapan.