Jakarta - Industri penerbangan Rusia sedang mengalami krisis parah karena sanksi internasional dan masalah produksi. Menurut data dari penyedia intelijen penerbangan Swiss, ch-aviation, produsen pesawat Rusia hanya berhasil mengirim satu dari 15 jet komersial yang direncanakan tahun ini, seperti dilaporkan Reuters.
Keterbatasan akses komponen impor dan tingginya suku bunga menjadi penghambat utama. Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, sanksi Barat memutus pasokan pesawat dan suku cadang buatan luar negeri. Lebih dari 700 armada maskapai Rusia, yang sebagian besar terdiri dari Airbus dan Boeing, kini kesulitan memperoleh komponen penting dan harus mengandalkan impor tidak langsung yang rumit.
Seorang sumber di industri penerbangan Rusia mengungkapkan, "Tidak ada basis komponen, teknologi, fasilitas produksi, atau tenaga ahli. Membangun semuanya dari awal butuh waktu puluhan tahun."
Sebagai negara dengan 11 zona waktu, Rusia sangat bergantung pada pesawat untuk transportasi penumpang dan barang. Namun, beberapa insiden menunjukkan perlunya pembaruan armada. Pada Juli 2024, pesawat Antonov An-24 buatan 1976 jatuh di wilayah timur Rusia, menewaskan 48 penumpang. Tak lama setelahnya, Aeroflot membatalkan puluhan penerbangan karena serangan siber.
Keterlambatan produksi pesawat mencerminkan melemahnya sektor industri Rusia. Indeks PMI Juli 2024 menunjukkan penurunan tercepat sejak Maret 2022. Tingginya suku bunga juga memukul produksi mobil, memicu kebangkrutan di industri batu bara, dan menghambat ekspor komoditas.
Dmitry Polevoy dari Astra Asset Management memperingatkan bahwa sektor industri hampir memasuki resesi akibat kebijakan moneter yang ketat.
Pada 2021, Rusia menambah 52 pesawat baru, termasuk Airbus, Boeing, dan Sukhoi Superjet dengan komponen impor. Namun sejak itu, hanya 13 pesawat baru yang bergabung ke armada, terdiri dari 12 Superjet dan satu Tupolev Tu-214.
Pemerintah terus menurunkan target produksi. Awalnya, target 2024–2025 adalah 171 unit, kemudian dipangkas menjadi 21 unit, dan diperkirakan akan direvisi lagi. Rostec, perusahaan negara yang memproduksi Superjet-100, Tu-214, dan MC-21, kesulitan memenuhi jadwal.
Sergei Chemezov, CEO Rostec, mengakui produksi massal MC-21, SJ-100, dan IL-114 baru akan dimulai pada 2026, mundur dua tahun dari rencana. Versi MC-21 buatan Rusia dikabarkan lebih berat dan kurang efisien dibanding versi impor, sehingga kurang diminati maskapai.
Meski berupaya memproduksi sendiri, Rusia masih mengimpor suku cadang. Data bea cukai menunjukkan impor komponen senilai $300.000 melalui Turki, China, Kirgistan, dan Uni Emirat Arab. Barang-barang ini berasal dari perusahaan seperti Safran (Prancis), Honeywell (AS), dan Rolls-Royce (Inggris), meski tidak ada bukti pelanggaran sanksi.
Rusia menggunakan sistem impor paralel, yaitu membeli melalui pihak ketiga tanpa izin produsen. Beberapa perusahaan menyatakan telah menghentikan penjualan langsung ke Rusia dan memperketat pengawasan.
Menteri Perindustrian Anton Alikhanov mengakui tantangan ini "unik dan sangat kompleks," karena tidak ada negara yang sepenuhnya memproduksi pesawat dari komponen domestik.
Keterbatasan pasokan pesawat sementara permintaan tetap tinggi telah mendorong kenaikan harga tiket sejak 2023. Untuk menjaga konektivitas, Moskow bahkan meminta maskapai Kazakhstan dan Uzbekistan mengoperasikan rute domestik di Rusia.

Social Plugin