LEBAK - Proyek preservasi jalan nasional Simpang–Bayah di Kabupaten Lebak dengan nilai lebih dari Rp54 miliar dari APBN 2025 justru memunculkan dugaan penyimpangan dalam tata kelola pengadaan pemerintah. PT Tureloto Battu Indah (TBI), perusahaan yang pernah dua kali masuk daftar hitam (blacklist) LKPP, kembali ditetapkan sebagai pemenang tender. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana mungkin perusahaan bermasalah bisa tetap lolos dalam proses seleksi?
Rekam jejak menunjukkan, sejak 2019 hingga 2025,
PT TBI telah mengantongi 12 paket proyek Kementerian PUPR dengan nilai total
mencapai sekitar Rp713 miliar. Fakta ini memperlihatkan bahwa sanksi blacklist
tidak berjalan efektif, karena perusahaan yang sudah bermasalah tetap
mendapatkan akses terhadap proyek berskala besar.
Masalah semakin mencuat ketika proyek
Simpang–Bayah diduga dialihkan kepada Regen Abdul Aris, kontraktor lokal
sekaligus anggota DPRD Lebak dari Fraksi PPP. Hal ini memunculkan konflik
kepentingan yang serius: seorang wakil rakyat, yang seharusnya menjalankan
fungsi pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara, justru diduga ikut
berperan sebagai pelaksana proyek. Kondisi ini jelas mengaburkan peran pengawas
dan pelaku, serta membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan.
Praktik semacam ini menyerupai pola “percaloan
proyek terselubung”: perusahaan bermasalah ditetapkan sebagai pemenang formal
di atas kertas, lalu pengerjaan proyek dialihkan kepada pihak yang memiliki
posisi politik. Alhasil, proyek infrastruktur publik tidak lagi murni untuk
kepentingan rakyat, melainkan berubah menjadi sarana memperkuat jaringan
kekuasaan dan keuntungan pribadi.
Jika tuduhan tersebut benar adanya, Regen
Abdul Aris tidak hanya menyalahi amanah sebagai wakil rakyat, tetapi juga
merusak prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Oleh karena itu,
aparat penegak hukum mulai dari Polri, Kejaksaan, hingga KPK, perlu segera
menelusuri dugaan keterlibatan politisi dalam proyek ini. Publik berhak
memastikan bahwa dana APBN Rp54 miliar benar-benar dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan segelintir elit.
Jalan nasional adalah milik rakyat, bukan alat
eksploitasi politisi. Membiarkan praktik semacam ini sama saja dengan merusak
bukan hanya infrastruktur jalan, tetapi juga fondasi demokrasi di negeri ini.

Social Plugin